Guru-Guru Kecil 1

“Seorang guru yang baik lebih banyak belajar pada muridnya, bukan sebaliknya.”

Prof. Husodo (Habibie & Ainun 3)

 

Inthiq, sebuah karya yang saya sendiri hampir bosan menyebut-nyebutnya. Ingin sekali bisa move on dengan berusaha melupakan masa lalu itu, kemudian berfokus meniti masa depan, membuat karya-karya yang baru. Saya selalu sadar, bahwa mau sampai kapan pun, kisah produksi film Inthiq tidak akan pernah lepas dari hidup saya, karena peristiwa-peristiwa itulah yang juga membentuk saya. Mungkin telah menjelma core memory pada diri saya. Namun, selalu saja kisah-kisah yang tercetak pada masa produksi Inthiq benar-benar tidak bisa  saya lupakan. Rasa-rasanya setiap momen yang tercipta saat itu sangat berharga dan mengandung pesan yang tak ternilai untuk saya belajar, belajar, dan belajar untuk menjadi lebih bijak dari hari ke hari. Siapa sangka di antara berbagai pasang surut pada kisah itu, saya bisa mendapatkan sebuah pelajaran penting dari seseorang yang jauh lebih muda dari saya.

***

Saat itu, masih di awal-awal masa produksi. Ketika berhasilnya film Inthiq masih menjadi khayalan, ketika saya menjadi seorang sutradara amatiran, hati masih dipenuhi kekhawatiran, dan kepala dikeroyok oleh pertanyaan-pertanyaan “Apakah semua proses ini akan bisa selesai? Ataukah segala usaha akan sia-sia?” Setelah pematangan jadwal bersama kru dengan segala tetek bengek­nya, setelah aktor-aktor kecil berlatih berhari-hari, saya memantapkan langkah taking video untuk beberapa adegan, Jumat pagi di depan gedung Indonesia 1. Inilah saat-saat film Inthiq setiap malam  saya tonton, tapi masih dengan mata tertutup di dalam mimpi.

Jalan di antara gedung Indonesia 1 dan Indonesia 4 adalah jalan protokol di pondok. Selain waktu kegiatan wajib pastilah jalan ini akan ramai dipenuhi santri berlalu-lalang. Kami memilih hari Jumat tentunya karena hari libur. Selain karena kondisi lokasi yang perlu diatur sedemikian rupa, adegan-adegan yang harus diambil di lokasi itu juga lumayan banyak. Beruntung kami mendapatkan izin untuk menggarap karya kami ketika waktu kegiatan bahasa wajib CLI (saat itu ketika Inthiq masih menjadi project yang diragukan prospeknya, izin semacam ini sangat berarti sekali). Karena izin itu, kami memiliki keleluasaan untuk taking video ketika suasana pondok sedang sepi. Para santri sedang ada kegiatan, tidak ada yang berlalu-lalang di jalan besar Indonesia, tidak ada noise atau distraksi lain yang perlu dikhawatirkan. Hari baru sudah datang, waktunya bangun mewujudkan mimpi.

Mata saya terbuka, tontonan Inthiq di mimpi telah usai. Ada kenyataan yang harus diciptakan dengan melabrak tantangan-tantangan. Tantangannya adalah waktu. Benarlah kata pepatah: waktu adalah pedang jika kau tidak menebasnya, maka dia yang akan memenggalmu. Kami harus menyelesaikan pengambilan semua adegan di lokasi itu sebelum kegiatan bahasa usai, kalau tidak mau direpotkan dengan lalu-lalang santri. Apabila acara bahasa telah usai tapi kami belum selesai, maka konsekuensinya kami harus mengatur langkah kaki santri yang mau melewati jalan protokol pondok di depan gedung Indonesia. Tentu saja itu rumit. Kami pun tidak mungkin mendapatkan izin untuk menutup total jalan itu hanya demi sebuah project yang dimulai dan digarap oleh sutradara dan penulis amatiran ini. Saya usahakan semaksimal mungkin. Ketika niat semata-mata karena Allah, tantangan seberat apapun itu harus dihadapi dengan gagah berani, bukan? Hancur-hancurlah siapapun dia yang berjuang demi keduniaan, tegak-tegaklah ia yang berjuang di jalan Tuhan. Keteguhan hati dari Allah yang menguatkan semua langkah.

Pergerakan dimulai setelah shubuh. Kantuk yang telah dihanyutkan oleh air wudhu menyisakan tumpukan kantung mata yang menyiratkan semangat. Motor matic itu saya nyalakan,  saya tarik napas untuk memulai perjalanan baru lainnya. Matahari belum tampak, mungkin masih berdandan. Saya tarik gas sekencang mungkin membalap lari angin dingin pagi. Jarak dari Dengok (Kamar saya – Distributor Buku La Tansa) menuju ke kampus pondok di desa Gontor normalnya ditempuh selama seperempat jam. Saya, dengan didukung suasana senyap dan semangat masa muda, saya tempuh jarak itu kurang dari sepuluh menit. Lagu “Darah Muda” buatan Rhoma Irama dinyanyikan merdu oleh knalpot dan putaran roda motor saya. Selalu terpacu untuk tiba tepat waktu.

Sampai di gedung Indonesia 1. Suasana sepi sebagaimana seharusnya. Saya tunggu para aktor dan tim produksi. Waktu menunggu tidak sebentar, beberapa menit termakan. Aktor dan kru datang satu persatu. Di antara para aktor itu ada Hafizh, Hafizh Tsani Kalqamar pemeran Ihya. Dialah bintang di serial ini. Sayang, ketika dia datang pagi itu, wajahnya tidak seterang bintang, malah terasa lebih gelap dari langit-langit syuruq. Seperti ada sendu yang dilipat rapi di hati. Ada apa dengan Ihya?

Proses taking video berjalan. Sutradara amatiran ini berusaha sebaik mungkin mengatur carut-marut dunia yang ada – sampai terkadang lupa mengurusi carut-marut dirinya sendiri. “Cut!” Pengulangan-pengulangan pasti terjadi; aktor salah ucap, lupa naskah, dan lain-lainnya. Semua itu menjadi bumbu penambah kegemasan setiap kali taking video. Saya pandangi wajah aktor-aktor kecil itu. Baik Hafizh, maupun Rais Razan, pemeran Fadhil. Mereka selalu memberikan yang terbaik, acting mereka tidak terlihat amatiran mereka sudah seperti profesional! Mimiknya baik, intonasinya baik, improvisasi juga dilakukan tanpa cacat. Bahkan lipatan sendu yang tadi dibawa oleh Hafizh seperti hilang dimasukkan ke dalam almari hati dan dikunci rapat-rapat.

Pasti lelah menjadi mereka. Santri punya banyak kesibukan yang melelahkan, dan kesibukan mereka yang sudah padat harus ditambah dengan tanggung jawab tambahan yang saya berikan. Tidak bisa dipungkiri, ada goncangan di hati saya. Meskipun mereka adalah santri dan saya guru mereka saat itu, tetap saja saya tidak boleh semena-mena.

Demi membuat mereka nyaman di dalam jalan perjuangan ini, saya pastikan pada setiap urusan harus terjamin kesejahteraan para aktor dan kru, mungkin sepele tapi itu salah satu usaha terbaik. Entah sebanding atau tidak dengan usaha, saya tida pernah tahu, tidak ada yang bisa menghitung. Setiap kali latihan di pagi hari saya selalu hadir menghempas jarak, tidak pernah absen. Berusaha sebaik mungkin untuk tidak membiarkan para aktor kecewa. Selepas latihan tidak jarang saya isi waktu hanya untuk mengobrol ringan, supaya mereka tidak merasa terbebani. Mereka menjadi bagian di Inthiq karena rasa tulus, mana boleh saya mengecewakan mereka? Mereka tidak boleh lebih lelah dari saya. Kalau mereka kelelahan, maka saya harus bekerja lebih keras, lebih lelah, lebih lillah.

Tidak jarang ada penghantuan yang merongrong tekad saya, apakah mereka harus kelelahan seperti ini hanya karena menuruti saya? Apakah mereka harus mengorbankan waktu dan tenaga lebih di tengah rutinitas menjadi santri hanya demi mengikuti ide saya? Apakah benar semua langkah perjuangan ini benar-benar demi menebarkan kebermanfaatan atau cuma demi ide saya sendiri? Pikiran semacam ini sering sekali menghantui saya. Benar-benar sudah menjadi naluri alami saya menjadi orang yang tidak tega, tidak tega mengajak orang lain untuk berlelah-lelahan. Namun, selalu saya kuatkan hati untuk mengusir semua pikiran buruk itu. Harus bertekad baja. Terus saya sampaikan motivasi untuk menguatkan mereka, juga selalu saya ingatkan kembali ‘kenapa’ kita harus mengadakan film ini, apa harapan yang ada di balik produksi Inthiq. Hati saya pun dikuatkan untuk percaya kepada mereka, yakin bahwa mereka paham dengan nilai perjuangan yang bersama-sama sedang dititi. Kendati saat-saat itu saya tidak akan pernah bisa tahu bagaimana sesungguhnya isi hati mereka.

Waktu molor, kegiatan bahasa CLI usai, proses taking video masih belum selesai, konsekuensi harus dihadapi. Melihat santri yang datang berbondong-bondong membawa noise semangat para kru terlihat menurun, para aktor juga tampak sudah lelah. Sebenarnya Saya pun. Sinar matahari semakin terik, suara sumbang terdengar, apakah kita sudahi saja? Apakah gagasan membuat Inthiq layak diperjuangkan selelah ini? Skill kesutradaraan boleh jadi amatiran, mentalitas tidak boleh ikut amatiran, tapi harus jauh melampaui itu. Meski wajah teman-teman kru dan aktor terlihat turun semangat dan mulai kelelahan, sorot mata mereka mengisyaratkan hal yang berbeda, ketika ditanya apakah lanjut atau tidak mereka pun menjawab ‘lanjut’. Justru itulah jawaban yang seharusnya ada juga pada diri saya, kenapa saya yang malah ragu. Maju terus adalah langkah terbaik untuk tidak membiarkan semua lelah-lelah lampau menjelma sia-sia. Adegan semangat-menyemangati harus terjadi. Saya ikut terdorong untuk terus maju, menabrak semua lelah, menikam semua yang terlihat mustahil saat itu. Segala puji bagi Allah yang memudahkan segala kesulitan.

Beberapa jam berlalu, akhirnya setelah drama di balik drama, taking video selesai, kisah sesungguhnya baru dimulai. Para kru dan aktor beristirahat di kantor Pembimbing Bahasa (LAC). Ramah-tamah, makan-makan. Menghela napas setelah menghadapi momen yang sulit. Menit-menit berlalu. Para aktor dipersilakan bubar, menjalani rutinitas lainnya sebagai santri pada umumnya. Tubuh para aktor mungil itu hilang di balik pintu, kecuali Hafizh, dia mendatangi saya dan menyampaikan ingin mengatakan sesuatu pada saya. Ada apa dengan Ihya?

Saya mengajak Hafizh ke ruangan sebelah untuk berbicara empat mata. Sebagaimana lazimnya saya duduk di atas sofa dan dia di bawah. Saya tundukkan kepala saya, menyimak baik-baik apa yang ingin dia sampaikan. Dia seakan membuka kunci almari hatinya, mengambil sendu yang telah terlipat, lalu memperlihatkannya kepadsaya, memperlihatkan bahwa lipatan itu adalah hanya caranya menyembunyikan semua lusuh yang sejati. Dengan terbata-bata dia menceritakan sebuah masalah. Matanya berkaca-kaca. Saya mendengarkan dengan seksama. Memperhatikan santri bertubuh mungil itu melepaskan semua gelisah hatinya.

“Aa ... na ... dapat masalah sama bagian ta’mir masjid, Ustadz ....”

Dia menceritakan masalahnya. Sore di hari sebelumnya, ketika sedang membaca al-Qur’an di masjid menuggu waktu maghrib, Hafizh didapati mengobrol dengan temannya. Itu adalah sebuah pelanggaran. Dia menjelaskan pada saya pembelaan-pembelaannya, dia mengaku sesungguhnya tidak bersalah. Hafizh sudah tidak bisa berkelit lagi dari pengurus ta’mir masjid. Dia sudah divonis bersalah, dan Hafizh ketika itu memilih untuk menurut dan mengalah.

Mungkin di wajah saya ada raut khawatir yang tak terelakkan, dan saya pun bertanya, “Terus apa hukumannya?”

“Di ... gun ... dul, Ustadz ....” Air matanya tumpah. Aktor Ihya itu menangis dan bersimpuh di lutut saya. Astaga.

Sedari awal dipilih, semua aktor selalu saya ingatkan untuk menjaga diri untuk tidak melanggar. Pertama, jelas karena melanggar tidak baik. Kedua, kalau mereka melanggar dan mendapatkan masalah itu akan mengganggu waktu proses produksi. Ketiga, apalagi kalau mendapatkan hukuman gundul, karena kita tidak mungkin mengambil gambar mereka dengan kepala gundul, itu akan menghambat sekali. Bagi saya tanggung jawab ini juga diharapkan menjadi benteng bagi mereka untuk lebih berhati-hati supaya tidak melakukan pelanggaran apapun. Mereka memahami itu. Namun, saya pernah menjadi santri, saya paham betul. Saya paham bahwa terkadang mau seberhati-hati apapun seorang santri kalau memang nasibnya mendapatkan hukuman maka terjadilah. Itu bukan semata-mata karena kenakalan yang benar-benar disengaja, itu hanya lalai sesaat pada momentum yang tidak menguntungkan. Kata orang: sedang sial.

Saya tidak sama sekali memarahinya, bahkan tidak mungkin saya memarahinya. Cuma pikiran saya otomatis berpikir cepat tentang masalah ini sampai dia melanjutkan sebuah ucapan yang tidak pernah  saya lupakan. Namun, lebih utama dari itu adalah menjadi pendengar yang baik terlebih dahulu. Ketika otak saya sedang berputar keras, dia melanjutkan ucapannya.

“Ana gak masalah kalau botak, Ustadz, karena memang salah ana, tapi nanti ... taking video-nya bagaimana?” Tangisnya semakin deras.

Termangulah saya mendengar ucapannya. Obrolan yang barangkali remeh bagi orang lain, hanya antara santri yang menceritakan sebuah masalah dengan ustadznya, tapi bagi saya ini luar biasa berarti. Luar biasa berarti, sampai-sampai selalu  saya ingat. Detik-detik duduk mendengarkannya kala itu menjadi momen saya belajar betul-betul sebuah rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab yang sering tersurat dari mulut orang dewasa tapi tidak tersirat pada sikap mereka. Siapa sih Hafizh? Seorang santri kelas dua berbadan kecil, tapi di jiwanya telah tumbuh sebuah rasa tanggung jawab yang besar, lebih besar dari tubuhnya. Ini menggetarkan hati saya, yang merupakan gurunya. Sebuah rasa besar yang membuatnya khawatir, membuatnya tsayat, membuatnya sampai melinangkan air mata. Dia jelas-jelas tidak mau mengecewakan saya dan semuanya. Perasaan yang luar biasa muncul di hati saya. Saya tersentuh dengan ucapannya itu, sebuah sentuhan hebat yang bisa jadi sampai hari ini tidak disadari oleh Hafizh sendiri.

Saya diberi anugerah luar biasa dari detik-detik singkat itu. Seakan Tuhan menyampaikan pada saya bahwa semua yang dilibatkan di Inthiq ini sama-sama mempunyai rasa tanggung jawab untuk menuntaskannya. Semuanya mau untuk berjuang menjadikan apa yang awalnya ide, khayalan, impian menjadi sebuah kenyataan. Harapan satu orang telah melebur menjadi harapan bersama-sama. Harapan itu hidup, mengidupi, bahkan menghidupkan. Menghidupkan tekad untuk berpijar lebih terang. Seakan ada isyarat dari langit untuk menghilangkan rasa ragu dan cemas berlebihan. Yakinlah!

Akhirnya, saya berusaha memberinya jalan alternatif. Hafizh Tsani  saya arahkan untuk menjelaskan keadaannya sekarang dan meminta kebesaran hati pengurus ta’mir masjid tadi untuk mengakhirkan hukumannya. Saya tidak bisa menolongnya dari masalahnya. Dia harus menghadapinya sendiri, walau saya sendiri tidak tega, walau saya juga ingin sekali menolongnya. Namun, sejak awal semuanya tahu, ikut andil di Inthiq bukan berarti punya previlege. Salah tetap salah. Pun saya, bukan berarti saya seorang guru pengabdian saya boleh ikut campur dalam urusan ini. Saya saat itu juga ikut pasrah kalau memang Hafizh akhirnya dijatuhi hukuman gundul itu dan Inthiq harus terhambat. Saya pasrah kepada Tuhan Pemilik takdir, Dia yang tidak pernah zalim dan khianat pada usaha hambanya.

            Celana bagian lutut kanan saya yang basah oleh air mata santri kecil itu seperti mengajari saya sebuah pelajaran penting tentang kehidupan. Mengajari saya sekali lagi sebuah rasa tanggung jawab. Mengajari saya bahwa siapapun bisa menjadi guru. Benar-benar, pada beberapa detik kejadian itu dia telah menjadi guru saya! Terima kasih, Tuhan, Engkau telah memberikan saya pelaran yang berharga.

           


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama