Brak!
Suara itu menggema di serambi rumah. Memang, selain suka ‘mbolang’
di sawah, dan mandi di sungai, Ilmi Hatta kecil juga suka berulah: membanting
pintu. Apabila Ibu sedang di rumah, pastilah suara pintu terbanting itu akan
disusul oleh teguran darinya.
Brak! Sekali pintu rumah bagian barat ditutup
keras. “Hat, sing alon!” tegur Sang Ibu pelan.
Brak! Pintu mobil kali ini yang jadi korban
tangan bocal iseng itu – Saya. Kali kedua. Ibunya memperingatkan lagi.
Brak! brak! Brak! Pintu rumah, pintu kamar mandi, pintu kamar,
mobil, kulkas, semuanya. Berkali-kali ia membanting pintu. Memorandum
hingga ultimatum dari meja Ibu berkali-kali diterbitkan.
Bagi anak tengah ini (Saya), menutup pintu dengan cara seperti tadi itu
cepat, mudah, dan simpel. Dorong saja pintu sekencang mungkin, selesai. Tiada perlu menghabiskan beberapa detik ‘berharga’ demi menahan
gagang pintu lalu mengerahkan sedikit tenaga untuk mendorong ke daun pintu. Repot
sekali. Itulah yang ada dipikiran anak ini, tidak mengambil pusing ini dan itu,
yang penting tertutup, ‘kan?
Bruakkk! Tidak berubah juga si bandel, pintu rumah dibanting
sekali lagi olehnya. Kali ini sang ibu mendatanginya, beliau berdiri di hadapan
Ilmi Hatta kecil, raut wajahnya menyinarkan marah yang ditaklukan sabar dan
sayang. Ibu pegang gagang pintu, diayunkan pelan ke bawah, ia buka kembali
pintu yang barusan dibanting.
“Kalau menutup pintu begini, ya …,” ucap ibu. Di hadapan Ibu, bocah ini
yang cuma bisa mantuk-mantuk saja, beliau dorong pelan pintu rumah itu,
perlahan sampai tertutup. Jegleg …. Pintu sempurna tertutup dengan
pelan. “Kan, … semuanya itu butuh: belajar,” tutup ibu.
***
Tahun demi tahun bergulir, peristiwa demi peristiwa mengalir. Bisa jadi
ketika itu Saya hanya menangkap sekenanya saja, bisa jadi juga ibu tidak
menyangka perkataan itu mempunyai makna yang teramat dalam. Kisah gagang pintu
itu terlupakan, sampai ada yang menggugahnya kembali saat sudah di Mesir.
Saat itu masih di tahun pertama. Di tengah terik musim panas, kepala
Saya ikut mendidih menyadari ujian termin II sebentar lagi datang. Ada beberapa
hal yang sedang merundung batin dan membuat persiapan ujian kurang maksimal. Dari
persiapan yang kurang itu, saya sangat khawatir apabila nanti hasil ujian
ternyata memberikan predikat buruk bagi Saya. Serasa ada beban yang berat,
mengingat sejauh ini riwayat akademis yang pernah didapat – alhamdulillah –
selalu baik. Anak muda ini memandangi langit-langit kamar takut kehilangan
taji.
Gundah itu tumpah saat sedang menelpon Ibu. Cerita saling ditukarkan
dari dua benua yang berbeda. Saat Saya sampaikan semua kekhawatiran Saya di
lingkup perkuliahan, Ibu memberi jawaban yang singkat tapi hebat, “Tidak apa, yang
penting Kamu di situ belajar hidup.”
Ibu mengingatkan Saya bahwa perjalanan akademis memang penting, tapi
yang jauh lebih penting adalah memaknai semua sisi kehidupan sebagai kurikulum
pembejalaran. Maksud Ibu, mengikuti program kampus memang penting, tapi belajar
untuk hidup mandiri di tanah rantau, belajar memecahkan masalah, belajar
menjalin pertemanan tidak kalah penting. Beberapa detik hening setelah Ibu
merespon. Jawaban itu sangat membesarkan hati Saya, sebab Saya tahu betul kalau
itulah yang selama ini ada dalam diri Saya.
Obrolan ringan itu seperti memantik listrik dan menyalakan kilasan-kilasan
peristiwa di memori saya. Momen masa kecil saat diingatkan untuk menutup pintu
dengan pelan itu muncul kembali, juga momen-momen penting lain yang ternyata
selama ini berperan besar membangun isi kepala saya. Dewasa ini, Saya baru
menyadari bahwa yang sedari kecil yang diajarkan oleh Ibu adalah nilai dan
mentalitas dari pendidikan holistik.
Sebuah pemahaman yang menyatakan bahwasanya ilmu itu ada di setiap lini kehidupan dan tidak sesempit yang biasanya ada dalam pengertian
kita. Ilmu tidaklah hanya sebatas kaidah-kaidah dan dalil-dalil akademis yang
ada di kelas-kelas saja, melainkan pemahaman dan pemaknaan terhadap segala
sesuatu yang ada pada hidup ini, apapun itu.
Memang secara formal, untuk mendapatkan pelajaran seseorang perlu masuk
ke sekolah dan duduk di kelas – dan memang yang ini penting. Namun, kalau
dikatakan pelajaran hanya bisa didapat di kelas, maka itu mutlak salah.
Pelajaran juga bisa didapat di pasar, ketika kita belajar untuk berkomunikasi
dengan baik dan bertransaksi dengan jujur. Pelajaran juga bisa didapati di
jalanan, ketika kita belajar berempati kepada orang lain yang memiliki keadaan
yang tidak lebih baik dari kita. Pelajaran bahkan ada di ujung gua tergelap di
perut bumi, ketika kita belajar bahwa perangai baik perlu terus dijiwai bahkan
saat seseorang hanya sendirian tanpa ada manusia lain yang melihat. Tuhan
menggelar ruang dan waktu penuh dengan pelajaran, sampai kita tidak punya
alasan lagi untuk tidak memaknai segala sebagai pelajaran.
Ilmu ada di bagaimana kita mengganti lampu kamar; proses mencopot yang
lama dan memasang yang baru. Ia juga ada di bagaimana kita menyiram tanaman yang
tidak boleh terlalu sedikit dan tidak boleh terlalu banyak. Ia juga ada di
bagaimana kita menutup pintu yang baik – dengan cara yang tidak merusak ambang
pintu dan gendang telinga orang lain. Pelajaran ada di bagaimana kita
berbelanja, menangkap ikan, bahkan menebang pohon pisang. Apalagi dalam hal
yang jauh lebih besar dari itu: bermasyarakat, bernegara, dan beragama. Dari
yang besar hingga yang kecil, semuanya ada ilmunya, dan persis seperti dhawuh
Ibu, “semuanya butuh belajar”.
Apa jadinya kalau pekerjaan-pekerjaan yang dianggap remeh tadi
dilaksanakan tanpa mengetahui cara-cara yang benar? Apa jadinya kalau kita
menutup pintu dengan keras, kita banting tanpa adab? Apa jadinya jadinya kalau
kita menyiram tanaman tanpa mengetahui bagaimana seharusnya, sehingga kita
menyiram terlalu sedikit atau terlalu banyak? Apa jadinya kalau kita memasang
lampu tidak sesuai dengan bagaimana ia semestinya terpasang? Tentulah hasil dari pekerjaan kita akan
tidak baik, bahkan merugikan, dan merusak. Maka, sebelum melakukan apapun, kita
perlu mempunyai dulu ilmunya.
Dewasa ini saya menyadari, rupanya pembiasaan dan penanaman paham yang
diberikan Ibu dari kecil selaras dengan prinsip “al-ilmu qablal ‘amal” –
mengilmui dahulu baru mengerjakan. Sebuah prinsip yang mencegah manusia
(terlebih muslim) untuk mengerjakan sesuatu dengan asal-asalan. Tentu perilaku
itu sangat buruk, dan ketika kita memahami bahwa segala sesuatu butuh belajar
atau ilmu dahulu, kita akan dijauhkan dari perilaku ikut-ikutan (taqlidul
a’ma) tanpa memahami esensi dari setiap pekerjaan yang dilakukan, apapun
itu, walau kecil. Tidak ada pengetahuan yang patut diremehkan.
Setelah mengerti bahwa kita perlu untuk berilmu sebelum beramal, kita
juga perlu ingat juga bahwa beramal adalah upaya yang akan terus ada seumur
hidup. Artinya, kita perlu menyadari bahwa proses belajar atau menuntut ilmu
itu juga terbentang seumur hidup. Sebagai seorang muslim, kita dinilai baik dari perbuatan atau amal kita,
dan – sekali lagi – beramal harus dengan ilmu. Artinya, seorang muslim yang
baik adalah ia yang belajar atau menuntut ilmu sepanjang hidupnya.
“Uthlubil ilma minal mahdi ilal lahdi”, tuntutlah ilmu dari buaian hingga kuburan. Pelajaran yang baru Saya dapat
di tahun pertama di pesantren. Makna dari kata mutiara itu kuat terasa bagi
saya. Saya sadar bahwa setiap muslim memang harus belajar seumur hidup, terlepas
dari profesi, hobi, dinamika. Sebab, ketika seseorang memang memahami hakikat
hidup sebagai perjalanan belajar, maka dia dengan sendirinya akan menjadi
seorang pembelajar seumur hidup.
Tak ayal, ketika memahami konsep ilmu pengetahuan secara lebih luas,
Saya mendapati bahwa proses mencerna pelajaran di sekolah atau universitas
menjadi lebih mudah. Hal itu terjadi sebab informasi dan pengetahuan yang sudah
didapat dari luar kelas – sebagai hasil dari mentalitas tadi – dapat menjadi
wawasan pendukung dari apa yang disampaikan dosen, dan tidak jarang juga
beririsan besar dengan kebanyakan mata kuliah di kampus. Ini menunjukan bahwa
nilai dan mentalitas tadi bukan jadi penghambat proses akademis formal, justru
sangat membantu menyukseskannya. Ilmu yang diperoleh di lembaga formal itu
nantinya juga akan menjadi penghubung dan pelengkap dari keseluruhan
pengetahuan yang ada di diri seseorang. Bekal ilmu menjadi lebih utuh dan
matang, sehingga tidak hanya menjadi algoritma di kepala saja, tapi bisa
bermanfaat bagi orang lain.
Pendidikan dari
Ibu membuat Saya paham betul bahwa ‘belajar hidup’ bukan tentang gagal atau
berhasil yang dinilai oleh predikat hitam-putih di atas kertas. Hidup
seluruhnya adalah sebuah proses pembelajaran. Ilmu memang penting, tapi yang
jauh lebih penting dari itu adalah proses bagaimana kita mendapatkan ilmu itu.
Maka dengan bekal pemahaman itu, saya belajar untuk bisa nikmati setiap detik kehidupan
yang dianugerahkan Tuhan untuk mempelajari segala hal.
Bagian dari
yang hebat dari semua ini ada di bagaimana Ibu biasa mengajarkan itu tanpa
perlu menceramahi dengan teori-teori. Nilai itu jadi tertanam di alam bawah
sadar Saya hingga tumbuh secara makna, tanpa Saya tahu secara lafaz. Ibu
menyelundupkan filosofi yang baru bisa Saya sadari ketika sudah dewasa; sebuah
pemahaman yang ternyata belum tentu bisa dijiwai oleh setiap insan; pemahaman baik
yang telah jadi bekal berharga untuk menjalani hidup secara bijaksana bagi Saya.
Dunia,
kenalkan, Dia ibuku
universitas yang tak terbatas
dan sekolah yang paling megah– selamat mengabadi dalam tulisan putramu.
Kairo, 19 Mei
2025.