Malam-malam itu terasa berat. Di kepalaku ada daftar tanggung jawab yang
harus dipenuhi, di dalam dada terasa ada banyak beban yang mengganduli. Dipindah
kamar ke La Tansa Gontor Department Store tentu bukan kabar menyenangkan bagi kebanyakan
guru pengabdian di Gontor Satu. Sebenarnya itu mudah saja diobati dengan
meluruskan niat dan membaca lagi nilai-nilai pondok. Setiap kamar punya
kelebihannya dan kesenangannya masing-masing. Seharusnya mudah untuk diterima. Namun,
masih ada satu hal yang sering mengajakku ke dalam renungan, Aku masih harus
menyelesaikan produksi Film Inthiq.
La Tansa adalah tempat yang hebat. Aku akui dengan penuh kesadaran dan
kebanggaan. Di sana Aku dikenalkan dengan lingkungan yang lebih ‘di dalam
pondok’ daripada yang di dalam pondok sendiri. Kami dikenalkan kalau kami
adalah guru atau ustadz yang bertugas di luar pondok, dan bukan orang luar yang
diberi kesempatan mengajar. Artinya, identitas ustadz pondok harus tercerminkan
dengan baik bahkan di tengah masyarakat kota Ponorogo, dan bukan artinya bisa
tampil dan berbuat urakan. Untuk menjaga itu semua, La Tansa punya nilai dan
sistemnya sendiri. Keduanya melebur dan mengakar kuat di sunah dan
lingkungannya sehingga seakan-akan La Tansa punya dunianya sendiri. Sayangnya,
menjadi staf di La Tansa menuntutku untuk mencurahkan tenaga lebih banyak di
luar pondok dengan urusan jual-beli dan administrasi dibanding di dalam pondok
dengan aktivitas mengajar dan membimbing santri. Jarak jalanan dan kesenjangan
tugas jadi konflik bagi Aku yang harus banyak ke pondok dan terjun jadi
sutradara juga.
Hari-hari pertama adalah hari-hari di mana Aku harus mencerna pola rutinitas
yang ada sembari mencari jalan alternatif untuk bisa tetap mengurusi produksi
film. Ternyata Aku banyak diberi tugas, atau lebih tepatnya di La Tansa memang
banyak sekali tugasnya, lebih-lebih Aku masih baru di sana. Beberapa saat
terasa kewalahan. Tidak bisa dipungkiri, semua tugas itu harus dijalani sebab
La Tansa Gontor Department Store adalah grup unit usaha yang besar.
Urusan-urusan di dalamnya juga pasti banyak dan tidak remeh. Apalagi unit usahaku
(kamarku) ada di Distributor Buku La Tansa, salah satu sektor dengan pemasukan
terbesar bagi pondok.
Bingung berkali-kali hinggap di kepala dan gundah tidak jarang bersemayam
di dada. Belum lagi urusan lain di luar La Tansa dan Inthiq yang terkadang
tidak kalah penting. Aku harus bagaimana? Aku tidak mau mengecewakan siapapun. Aku
ingin beri yang terbaik di La Tansa dan Aku ingin tetap berhasil membuat film. Target-target
lain yang ingin kucapai di masa pengabdian tahun kedua sekaligus tahun terakhir
ini menuntut kegilaan tersendiri. Pekerjaan banyak sekali, sedangkan waktunya
sempit sekali, walau yang lebih sempit adalah hati Aku yang kerap merasa tidak sanggup,
merasa lelah dan butuh banyak istirahat.
Aku memilih untuk terus berjalan maju terus saja, tidak tahu akan kuat
sampai ke titik apa. Aku memilih untuk terus berjuang dan menolak gagal tanpa
perlawanan. Melewati hari-hari berat dengan optimisme bahwa Aku akan bertambah
kuat. Namun, kelemahanku masih saja menjerit-jerit. Aku merasa butuh motivasi
dan dukungan moral.
Suatu saat Aku teringat bahwa di antara senior di La Tansa ada juga yang
aktif mengurusi multimedia di dalam pondok, yang sering ‘hidup di dua alam’. Namanya
Ustadz Irfan Tajuddin. Memang semestinya tidak sama, dia sudah pengabdian tahun
kelima dan Aku masih tahun kedua. Keleluasaannya berbeda. Namun, Aku tahu kalau
dia sejak lama sudah menggeluti dua dimensi ini – dalam dan luar pondok, dan Aku
bisa merasakan bahwa ada jatuh bangun di dalam dirinya.
Sejatinya Aku belum terlalu dekat dengan dia, walau dia sering mampir ke
kamarku saat pengabdian tahun pertama, Kantor Penggilingan Padi. Tapi Aku paksakan
untuk percaya diri saja demi mendengar kalimat dari orang yang mungkin berbagi
sedikit perasaan yang sama.
Aku kirim pesan singkat, membuat janjian untuk ‘ngopi’ – walau bukan minum
kopi secara literal. Aku dan Ustadz Irfan bertemu di pondok dan pergi keluar
untuk mengobrol. Kami berboncengan naik motor, melintasi jalan pedesaan Ponorogo.
Dari Mlarak, belok kanan menuju Siman, lalu lurus terus ke arah kota. Kami
akhir sampai tepian kota, kami memilih sebuah warung tenda di trotoar. Kami
memilih tempat itu untuk duduk dan berbincang.
Mungkin kalau ada seseorang mengajaknya ‘ngopi’, seringnya itu berkaitan
dengan konsutasi teknik perfilman. Dia memang ahli dalam hal itu. Aku tidak.
Dari awal aku hanya ingin berbicara tentang cara bagaimana bisa kuat menjadi
amfibi.
Aku mencoba menjadi pribadi yang supel, supaya tidak begitu canggung karena
kami belum banyak mengenal. Mula-mula Aku ceritakan konsep film yang sudah
kugarap bersama teman-teman. Film tentang bahasa. Dia merespon secara empatis
kalau masalah bahasa Arab dan Inggris di pondok memang penting. Topik tentang
filmku kuhabiskan agar bisa segera beralih ke pertanyaan sesungguhnya. Bagaimana
ustadz La Tansa bisa buat film?
Dia tampil bijak dengan memintaku untuk jangan pernah meninggalkan
kewajiban pokok di La Tansa. Menjaga toko, pembukuan, mengirim barang ke
Mantingan, semuanya harus ditunaikan juga. Adapun kalau ada kesibukan lainnya,
maka harus konsekuen, bukan berarti mengurangi porsi kewajiban di La Tansa,
tapi berarti menambah kerja keras untuk urusan yang di dalam pondok, untuk
Inthiq. “Kalau mau makan lebih banyak, harus mau masak lebih banyak,” ucapnya.
Aku tidak yakin dia ingat kata-katanya. Tapi Aku masih ingat ucapannya lengkap
dengan gambaran suasananya. Aku masih ingat sampai sekarang.
Kalau mau menggapai banyak harapan, maka kerja kerasnya juga harus lebih
banyak. Kalau kewajibannya jadi banyak upayanya juga harus lebih mati-matian. Kalau
punya banyak pekerjaan, itu bukan artinya aku harus mengurangi salah satu porsi
tanggung jawab. Namun, itu berarti yang harus dikurangi adalah kesenangannya,
kelalaiannya, dan malas-malasannya. Menambah daya juangnya.
Petuah itu membuatku merasa terbekali. Satu tahun sisa dari masa pengabdian
itu Aku jalani dengan kegilaan yang lumayan. Saat-saat terakhir di Aku, Aku
ingin menuai banyak kebahagian, maka Aku menanam banyak kerja keras. Konflik
sesungguhnya dalam proses ini bukanlah pekerjaan yang banyak dan saling
bertabrakan, tapi masalahnya adalah terkadang masih ada rasa malas dan lalai
yang menyelinap di diri ini. Perasaan yang membuat seseorang menunda bahkan
meninggalkan. Itulah masalah sesungguhnya, yang harus ditaklukkan.
Hal yang menakjubkan adalah dengan mentalitas itu keseharian jadi terdorong
lebih produktif, otak terangsang untuk memikirkan cara menyelesaikan sesuatu
dengan cara yang paling efisien dan efektif. Langkah-langkah dalam beberapa
waktu ke depan tersusun dengan rapi. Duduk sebentar memegang ponsel terasa kekurangan
yang harus dihindari. Dan yang lebih penting daripada itu semua adalah Aku jadi
terbiasa dengan pola ini, dan Aku percaya diri bahwa Aku bisa menyelesaikan hal-hal
besar dengan kerja kerasku.
Terbukti, di penghujung masa pengabdian, Aku berhasil menyelesaikan Inthiq
1 dengan hasil yang tak terduga-duga. Eforia yang leuar biasa, Tidak luput Aku
berhasil merancang dan merumuskan gudang buku baru untuk La Tansa, menyusun
rancangan pergi ke Jakarta untuk riset, membuat dua logo unit usaha La Tansa
yang baru. Belum lagi ha-hal desain kepanitiaan.
Aku bisa menyelesaikan keduanya. Aku bisa. Aku berhasil jadi amfibi. Dan Aku yakin kalau suatu saat Aku diminta untuk bertempat di lebih dari dua alam, Aku tahu dari mana dan bagaimana mulainya. Aku pernah diuji dengan berbagai ujian itu, dan aku percaya kalau ada hal berat lainnya yang datang Aku bisa melawannya.